Cyberbully: Bully atau Humor?
Beberapa hari yang lalu, untuk pertama kali setelah sekian lama tidak aktif di facebook, saya menyempatkan diri untuk membaca postingan-postingan di salah satu fanpage komunitas yang saya masuki. Fanpage tersebut sangat ramai dan aktif, hingga hampir semua postingan memiliki ratusan like dan ratusan komentar. Salah satu postingan membuat saya tertarik sebab terjadi perdebatan yang bisa dibilang sangat panjang. Perdebatan itu terjadi berawal dari komentar seseorang yang terdengar sangat galau (maaf saya tak sempat mengabadikannya ke dalam sebuah foto), dan salah seorang memberinya semangat (saya akan sebut A) sementara yang satunya justru mengomentarinya dengan kata yang bisa di bilang sangat menyinggung (saya akan sebut B). Akhirnya perdebatan pun terjadi dan diakhiri dengan komentar B yang mengatakan “lu serius amat sih”.
Melihat fenomena itu, saya jadi teringat beberapa tahun yang lalu ketika saya masih aktif di fb dan sedang stress, saya melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh si B. Kurang lebih saya menggunakan akun palsu untuk menjahili orang lain dengan maksud humor. Jadi sebenarnya ketertarikan saya menulis artikel ini adalah karena saya melihat “diri saya di tahun 2012” yang saya saat ini anggap tidak baik. Jika anda sudah pernah menonton movie dengan judul “Cyberbully”, anda pasti mengerti mengapa cyberbully itu tidak baik. Jika anda belum menonton, saya akan memberikan sedikit gambaran apa itu cyberbully dan seperti apa pengaruhnya.
Cyberbully bercerita tetang seorang perempuan (Taylor) yang menjadi korban bully di media sosial. Bully itu awalnya ia dapat dikarenakan adiknya sendiri yang memposting kata-kata yang tidak pantas dengan menggunakan akun Taylor. Kata-kata itu menggambarkan kakaknya seperti seorang (maaf) slut. Kata-kata tersebut sebenarnya hanyalah candaan adiknya, namun malah mendapat tanggapan serius dan menyebar menjadi bully di media sosial dan bahkan di dunia nyata. Bully itu menyebabkan Taylor stress berat namun tidak berlangsung lama.
Setelah kesalahpahaman karena bully adiknya selesai, ia kemudian mendapat bully yang kedua dikarenakan sahabatnya sendiri (Samantha). Di dalam movie diceritakan, Taylor dekat dengan seorang pria (Scott) yang merupakan mantan pacar Samantha, yang dulunya adalah playboy. Samantha sebenarnya tidak bermaksud jahat, ia bermaksud agar sahabatnya (Taylor) tidak menjadi korban Scott. Samantha awalnya memberi nasihat kepada Taylor agar menjauhi Scott, namun nasihat tersebut tidak diindahkan oleh Taylor. Akhirnya Samantha membuat akun palsu untuk menjelekkan nama Taylor di media sosial agar Scott menjauhi Taylor. Namun yang terjadi malah sangat buruk, Taylor malah menjadi korban bully yang lebih parah dari sebelumnya. Taylor merasa sangat depresi dan memutuskan untuk bunuh diri dengan meminum obat, tapi untungnya usahanya itu digagalkan oleh ibunya dan Samantha.
Saya tidak akan membahas lebih jauh mengenai movie di atas sebab tidak akan sesuai dengan judul artikel ini. Namun, saya akan membahas pelajaran apa yang bisa kita petik dari movie tersebut.
Hampir setiap hari, anda yang aktif di media sosial tentu sudah banyak memperhatikan bagaimana kita saling bully, saling mengejek dan saling menghina satu sama lain dengan maksud humor. Dan ketika kita mendapat teguran dari seseorang, kita akan menanggapinya dengan komentar “lu serius amat sih”, kita menganggap orang tersebut tidak memiliki selera humor atau terlalu serius. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa kita berbeda dengan orang lain, apa yang kita anggap humor belum tentu dianggap humor oleh orang lain. Dan seringkali humor seperti itu di sampaikan dengan cara yang memang terdengar memiliki maksud menyerang. Saya ambil contoh kejadian yang saya alami sendiri. Entah bagaimana komentar sebelumnya, saya tidak ingat dengan pasti. Namun saya sangat ingat dengan jelas komentar-komentar berikut ini.
Saya : JAV itu apa kakak? *masih polos
A : polos pale lu, lu mah nontonnya hentai :v
Saya : wihh, humornya nusuk :D
A: pokoknya gak ada mercy apalagi ferrari
Jika anda menjadi saya apakah anda tidak akan merasa di serang?. Saya yakin A sebenarnya hanya bermaksud bercanda, namun cara menyampaikan candaannya sejujurnya saya anggap telah menyerang saya. Mungkin jika ia mengatakan “polos apaan, kamu mah nontonnya hentai :D”, mungkin masih terdengar menyerang namun saya bisa lebih menerimanya sebagai humor dibanding kata-kata sebelumnya. Jadi, apa yang membuat kata-kata kita di internet seperti sebuah humor atau ejekan, bukan sekedar pada siapa kita mengeluarkan kata-kata itu, tapi juga bagaimana cara kita menyampaikannya. Tentu harus sesuai dengan kepada siapa kata-kata itu kita tujukan. Namun, umumnya kita mengeluarkan kata-kata seperti itu kepada orang yang kita TIDAK KENAL di dunia nyata. Apa yang anda tahu tentang mereka? Apakah anda bisa memastikan bahwa kata-kata anda bisa diterimanya sebagai humor atau tidak?, kita tidak bisa memastikan hal itu.
Jika anda mengetahuinya secara pribadi, tentu tak menjadi masalah. Saya sendiri dan sahabat saya, seringkali menggunakan kata-kata kasar sebagai sapaan baik di dunia nyata maupun di internet, namun tidak terjadi konflik sebab memang pada dasarnya kita saling mengenal di dunia nyata. Jadi kata-kata kasar itu berlalu hanya sebagai humor saja. Namun orang yang kita ajak bicara di media sosial umumnya adalah orang yang tidak kita kenal secara pribadi, jadi kita tidak bisa memastikan apakah kata-kata kita bisa diterimanya sebagai humor atau malah sebuah ejekan.
Jadi, daripada menjustifikasi orang lain dengan kata “lu serius amat sih” atau kata lainnya yang senada. Mungkin lebih baik jika kita mencoba introspeksi diri.
Coretan 20 Januari 2016
Melihat fenomena itu, saya jadi teringat beberapa tahun yang lalu ketika saya masih aktif di fb dan sedang stress, saya melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh si B. Kurang lebih saya menggunakan akun palsu untuk menjahili orang lain dengan maksud humor. Jadi sebenarnya ketertarikan saya menulis artikel ini adalah karena saya melihat “diri saya di tahun 2012” yang saya saat ini anggap tidak baik. Jika anda sudah pernah menonton movie dengan judul “Cyberbully”, anda pasti mengerti mengapa cyberbully itu tidak baik. Jika anda belum menonton, saya akan memberikan sedikit gambaran apa itu cyberbully dan seperti apa pengaruhnya.
Cyberbully bercerita tetang seorang perempuan (Taylor) yang menjadi korban bully di media sosial. Bully itu awalnya ia dapat dikarenakan adiknya sendiri yang memposting kata-kata yang tidak pantas dengan menggunakan akun Taylor. Kata-kata itu menggambarkan kakaknya seperti seorang (maaf) slut. Kata-kata tersebut sebenarnya hanyalah candaan adiknya, namun malah mendapat tanggapan serius dan menyebar menjadi bully di media sosial dan bahkan di dunia nyata. Bully itu menyebabkan Taylor stress berat namun tidak berlangsung lama.
Setelah kesalahpahaman karena bully adiknya selesai, ia kemudian mendapat bully yang kedua dikarenakan sahabatnya sendiri (Samantha). Di dalam movie diceritakan, Taylor dekat dengan seorang pria (Scott) yang merupakan mantan pacar Samantha, yang dulunya adalah playboy. Samantha sebenarnya tidak bermaksud jahat, ia bermaksud agar sahabatnya (Taylor) tidak menjadi korban Scott. Samantha awalnya memberi nasihat kepada Taylor agar menjauhi Scott, namun nasihat tersebut tidak diindahkan oleh Taylor. Akhirnya Samantha membuat akun palsu untuk menjelekkan nama Taylor di media sosial agar Scott menjauhi Taylor. Namun yang terjadi malah sangat buruk, Taylor malah menjadi korban bully yang lebih parah dari sebelumnya. Taylor merasa sangat depresi dan memutuskan untuk bunuh diri dengan meminum obat, tapi untungnya usahanya itu digagalkan oleh ibunya dan Samantha.
Saya tidak akan membahas lebih jauh mengenai movie di atas sebab tidak akan sesuai dengan judul artikel ini. Namun, saya akan membahas pelajaran apa yang bisa kita petik dari movie tersebut.
Hampir setiap hari, anda yang aktif di media sosial tentu sudah banyak memperhatikan bagaimana kita saling bully, saling mengejek dan saling menghina satu sama lain dengan maksud humor. Dan ketika kita mendapat teguran dari seseorang, kita akan menanggapinya dengan komentar “lu serius amat sih”, kita menganggap orang tersebut tidak memiliki selera humor atau terlalu serius. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa kita berbeda dengan orang lain, apa yang kita anggap humor belum tentu dianggap humor oleh orang lain. Dan seringkali humor seperti itu di sampaikan dengan cara yang memang terdengar memiliki maksud menyerang. Saya ambil contoh kejadian yang saya alami sendiri. Entah bagaimana komentar sebelumnya, saya tidak ingat dengan pasti. Namun saya sangat ingat dengan jelas komentar-komentar berikut ini.
Saya : JAV itu apa kakak? *masih polos
A : polos pale lu, lu mah nontonnya hentai :v
Saya : wihh, humornya nusuk :D
A: pokoknya gak ada mercy apalagi ferrari
Jika anda menjadi saya apakah anda tidak akan merasa di serang?. Saya yakin A sebenarnya hanya bermaksud bercanda, namun cara menyampaikan candaannya sejujurnya saya anggap telah menyerang saya. Mungkin jika ia mengatakan “polos apaan, kamu mah nontonnya hentai :D”, mungkin masih terdengar menyerang namun saya bisa lebih menerimanya sebagai humor dibanding kata-kata sebelumnya. Jadi, apa yang membuat kata-kata kita di internet seperti sebuah humor atau ejekan, bukan sekedar pada siapa kita mengeluarkan kata-kata itu, tapi juga bagaimana cara kita menyampaikannya. Tentu harus sesuai dengan kepada siapa kata-kata itu kita tujukan. Namun, umumnya kita mengeluarkan kata-kata seperti itu kepada orang yang kita TIDAK KENAL di dunia nyata. Apa yang anda tahu tentang mereka? Apakah anda bisa memastikan bahwa kata-kata anda bisa diterimanya sebagai humor atau tidak?, kita tidak bisa memastikan hal itu.
Jika anda mengetahuinya secara pribadi, tentu tak menjadi masalah. Saya sendiri dan sahabat saya, seringkali menggunakan kata-kata kasar sebagai sapaan baik di dunia nyata maupun di internet, namun tidak terjadi konflik sebab memang pada dasarnya kita saling mengenal di dunia nyata. Jadi kata-kata kasar itu berlalu hanya sebagai humor saja. Namun orang yang kita ajak bicara di media sosial umumnya adalah orang yang tidak kita kenal secara pribadi, jadi kita tidak bisa memastikan apakah kata-kata kita bisa diterimanya sebagai humor atau malah sebuah ejekan.
Jadi, daripada menjustifikasi orang lain dengan kata “lu serius amat sih” atau kata lainnya yang senada. Mungkin lebih baik jika kita mencoba introspeksi diri.
Coretan 20 Januari 2016
Komentar
Posting Komentar