Education - Perkembangan Teori Belajar
Saat psikologi memisahkan diri sebagai disiplin ilmu pada akhir tahun 1800an, pandangan teoritis dari belajar (seperti strukturalisme oleh Wilhelm Wundt, fungsionalisme oleh John Dewey) kurang didasari penelitian yang kuat. Ciri metodologi penelitian yang sering dipakai pada waktu itu : peneliti meminta subjeknya untuk menggambarkan pengalaman internal - pikiran mereka. Namun, pada awal tahun 1900an, beberapa ahli psikologi mengkritik pendekatan ini karena dianggap terlalu subjektif dan metode ilmiah yang kurang tepat. Misalnya, ahli psikologi asal Amerika, John Watson berpendapat agar penelitian psikologi difokuskan pada sesuatu yang bisa diamati, fenomena yang bisa diukur secara objektif – khususnya, pada stimulus/ ransangan dari lingkungan (Ss) dan pada respon dari organisme (Rs) – dan berpendapat bahwa proses mental (seperti, berfikir) memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk diukur dan diamati.
Di Amerika Utara khususya, beberapa kolega profesional Watson mengambil jalan yang sama, yang kemudian membentuk behaviorisme sebagai perspektif yang paling dominan dipakai terkait belajar hingga pada awal pertengahan abad ke-20. Umumnya, awal penelitian behavioris berfokus pada hubungan stimulus-respon (S-R), dan belajar secara operasional didefinisikan sebagai perubahan pada perilaku (behavior), tanpa adanya perhatian pada kemungkinan mendasar dari fenomena mental. Umumnya penelitian behavioris melibatkan eksperimen laboratorium dengan menggunakan hewan (seperti, tikus, merpati), memungkinkan kontrol kondisi lingkungan yang kuat dan sederhana, dan juga pengukuran perilaku yang mudah.
Berbeda dengan di Amerika Utara, ahli psikologi dari Eropa lebih berorientasi pada pendekatan kognitif dalam mempelajari “belajar”. Misalnya, Gestalt psychology yang berkembang di Jerman yang diawali oleh peneltian Max Wertheimer. Gestalis lebih berfokus kepada fenomena mental (seperti, persepsi) dan perilaku kompleks (seperti, pemecahan masalah). Sementara itu, ahli perkembangan dari Swiss, Jean Piaget dan koleganya berfokus pada proses bernalar secara logis. Dan di Rusia, ahli psikologi Lev Vigotsky berspekulasi tentang adanya pengaruh faktor sosial dan budaya pada proses kognitif yang kompleks seperti bernalar dan pemecahan masalah. Sejak pertengahan abad 20, pendekatan penelitian dari sudut pandang kognitif lebih mendominasi belajar. Tren ini adalah bagian dari hasil komunikasi antar ahli psikologi dari berbagai negara dan bahasa yang lebih sering, dan juga pembatasan pendekatan behavioris.
Di tahun 1960an dan 1970an, ahli psikologi Amerika, Albert Bandura mengonsepkan ulang asas behaviorisme dengan melibatkan variable kognitif (seperti, ekspektasi, efikasi diri). Bandura juga menyebutkan bahwa individu memperoleh banyak perilaku yang baru melalui pengamatan dan mencontoh (modeling) individu lain; dimana, Bandura menyebutnya sebagai teori belajar sosial. Teori belajar sosial kemudian dikembangkan dengan melibatkan pentingnya human agency dan self-regulation dalam belajar dan bertingkah laku, dan sekarang lebih dikenal sebagai teori kognitif sosial.
Beberapa ahli psikologi lain mencari penjelasan kognitif tentang bagaimana manusia belajar dan benar-benar mengabaikan behaviorisme, mendukung lahirnya information processing theory; sebuah perspektif yang memandang bahwa cara manusia berfikir dan belajar informasi yang baru sama dengan cara komputer mengolah informasi. Berdasarkan perspektif ini, manusia memiliki memori yang bersifat sementara, mekanisme yang memproses informasi secara aktif (sama halnya dengan RAM komputer) dan memori jangka panjang. Namun, beberapa ahli psikologi mengabaikan traditional information processing theory, sebab manusia seringkali berhadapan dengan informasi yang sulit dijelaskan secara logaritma, seperti komputer. Misalnya, manusia cenderung mencari arti dari sebuah kejadian, mengantarkan beberapa ahli psikologi melakukan pendekatan kolektif yang dkenal sebagai constructivisme; dimana belajar dipandang sebagai proses individu secara aktif membangun interpretasinya dari sebuah stimulus atau kejadian.
Pada tahun 1980an, karya Lev Vigotsky diterjemahkan dari bahasa Rusia ke dalam berbagai bahasa dan mendapat akses yang luas. Perhatiannya pada pentingnya interaksi sosial untuk perkembangan dan proses belajar anak – dan pentingnya budaya dan sosial secara umum – mendorong munculnya sociocultural theory. Kemajuan baru-baru ini dalam neuropsychology memiliki beberapa teori belajar. Misalnya, teknologi fMRI yang menemukan bahwa banyak bagian dari otak yang aktif pada saat belajar atau mengingat. Penemuan yang umum ini mengantarkan pada perspektif yang dikenal sebagai parallel distributed processing (PDP), yang menyatakan bahwa proses kognitif dari manusia normal dan representasi dari suatu obyek atau kejadian didistribusikan secara luas pada otak dan hampir secara pasti melibatkan banyaknya neuron yang bekerja secara bersama-sama.
Sumber :
Ormrod, J. E. 2012. “Psychology of Learning (Overview Article)”. Dalam N. M. Seel (Ed.). Encyclopedia of the Science of Learning (hal. 2727-2731). Springer Science+Business Media.
Coretan 15 Maret 2016
Komentar
Posting Komentar