Review - The Witches of the Forest of Solitude

Akhir-akhir ini saya asyik menikmati beberapa one-shot manga dari berbagai genre. Kebanyakan yang saya baca dari demografi Shoujo sih sebenarnya, tapi nggak ada yang benar-benar menarik buat dibikin reviewnya. Namun ada satu manga yang terbilang unik yang sebenarnya dari tipe manga yang sangat jarang saya baca – Yuri.

Judulnya “The Witches of the Forest Solitudes” karangan Huyou Satoyoshi, sementara Artnya oleh Yatosaki Haru. Saya sebenarnya belum tahu tentang author dan artist ini, tapi karena manga ini, saya ingin coba mencari tahu karya-karya mereka yang lain.




Judul Manga : The Witches of the Forest of Solitude
Tipe : Oneshot (42 halaman, cover included)
Genre: Yuri

“        Far to the East, snow falls endlessly in the Forest of Solitude. The brook that should imbue it with life is frozen solid. The trees in this forest will never bud, nor flower, nor bear fruit again. The forest permits no life. The only things to be found within are dead and trees and thick drifts of snow. At the lonely center of this lonely forest, sits a small cabin for two”
Dua halaman yang menyajikan paragraf tersebut mengawali oneshot ini. Disini dijelaskan mengenai setting tempat dimana cerita ini terjadi. Penyihir dan hutan mungkin dari dulu sudah jadi pasangan karakter-setting ya?, jadi oneshot ini sebenarnya sangat umum dari segi setting. Tapi penambahan salju nya sedikit menambah suasana romantis yang menjadi nilai plus tentunya. 

---Cerita dan Karakter---

Oneshot ini bercerita tentang dua orang penyihir yang hidup jauh di dalam hutan bersalju. Meskipun sama-sama penyihir, keduanya sangat berbeda baik dari segi design maupun dari segi kepribadian dan kebiasaan. Pengkarakteran keduanya sebenarnya kurang begitu detail mengingat ini adalah oneshot. Nama kedua karakter utama ini bahkan tidak disebutkan, jadi disini saya sebut saja girl A dan girl B.

Girl A dari segi penampilan bergaya seperti gadis desa pada umumnya di abad pertengahan Eropa  yang bisa di jumpai di beberapa anime dan kartun dengan setting yang sama, disertai celemek di dalam rumah. Namun girl A sering ke desa untuk membeli beberapa bahan makanan, jadi dia seringkali memakai luaran yang lebih tebal dan juga syal. Dia disukai sama rakyat sekitar, namun semakin lama penduduk desa semakin mencurigainya sebab ia tidak menua sama sekali. Dari sisi kepribadian, dia tampak ceria, berbeda dengan girl B. Girl B digambarkan tidak pernah keluar rumah. Dia seringkali memperlihatkan wajah murung, suram, bahkan sampai menangis. Dia selalu duduk di kursi di samping jendela. Dengan pakaiannya yang hitam, dia tampak seperti penyihir yang sesungguhnya. 

Fokus dari cerita ini lebih kepada hubungan Girl A dan Girl B. Meskipun tidak terlalu detail, ada backstory juga untuk kedua karakternya. Bagaimana masa lalu mereka, bagaimana mereka bertemu sampai bagaimana mereka hidup di dalam hutan. Cerita dari oneshot ini seperti sebuah cerita yang melanjutkan backstory itu, dan juga bagaimana hubungan mereka kedepannya. Mengesampingkan kenyataan bahwa mereka penyihir, cerita ini semakin bernuansa fantasy dengan narasi dari orang ketiga di akhir cerita. 

Dari segi pacing, tentunya bisa ditebak. Oneshot ini lebih ke character driven story, lebih berfokus pada hubungan kedua karakter utama ini dari waktu ke waktu. Jadi konteks cerita tidak desajikan secara detail sehingga perubahan karakter mungkin terasa terlalu mendadak dan kurang believable.

---Artstyle---

Dari segi pengaturan panelnya, sebenarnya sangat sederhana. Kebanyakan scenenya dibagi dalam beberapa panel persegi biasa, sangat sederhana, dengan sedikit pengecualian tentunya. Ini mungkin saja lebih disebabkan kebanyakan scenenya digambarkan begitu tenang, lebih seperti slice of life. Hanya pada klimaks cerita dimana panel sedikit berubah, bahkan itupun tak seberapa. Meski begitu, dari segi karakter dan gambar latar, oneshot ini mempunyai ciri khas sendiri. 

Design karakter lebih ke antara shoujo dan seinen. Ada sedikit kemiripan dengan beberapa manga slice of lice seinen namun arsirannya untuk karakter sperti menyerupai gambar shoujo. Backgroundnya, meskipun digambarkan dengan agak detail tapi tampak sketchy karena arsirannya yang sengaja dibuat tidak lurus. Arsiran halus yang seakan tidak peduli dengan kesempurnaan membuat saya menyukai artstyle ini sebab seinen vibe meski karakternya terkadang terlihat seperti dalam shojo manga.

---Tata Bahasa---

Yang membuat saya rela menghabiskan waktu beberapa jam untuk menganalisis dan menuliskan rekomendasi ini adalah karena penggunaan tata bahasanya yang begitu puitis. Anda bisa baca dari paragraf yang saya tuliskan di atas. Entah ini karena scanlatornya, atau karena memang dari original authornya sendiri saya kurang tahu. Menurut saya, mungkin saja pemilihan kata yang jarang dipakai ini adalah pilihan scanlator, namun bukan berarti mereka memilihnya tanpa dasar. Dari paragraf awal terlihat bahwa, memang narator disini mencoba menjadi puitis untuk menambah sisi romantis dari oneshot ini yang memiliki kekurangan kesempatan (keterbatasan dari oneshot) untuk menjadi romantis dengan cara lain. Dari 38 halaman yang menjadi cerita utama, narasi menggunakan kata-kata puitis sangat mendominasi, khususnya pada bagian pembukaan, flashback, climax dan juga penutup.

---Kesimpulan----

Originnya yang sebagai yuri mungkin sedikit tidak membuat nyaman. Story dan panel management nya juga begitu sederhana. Suasana desa yang disajikan di awal pun begitu damai. Klimaks nya pun tidak terlalu dramatis sebenarnya. Namun artstyle yang unik dan juga penyajian ceritanya dengan kata-kata yang begitu romantis memberi kesan tersendiri dan menjadikannya salah satu oneshot yang patut untuk dicoba.

Coretan 28 Maret 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Bugis - La Biu

Cerita Rakyat Bugis - Tau Malebbo e ri Mampu

Cerita Rakyat Bugis - La Tarenrek