Thought - Student-Centered-Learning, Efektif kah?
Matematika mungkin merupakan subject yang paling sering diangkat dalam penelitian pendidikan, tidak hanya dibahas oleh individu atau organisasi yang berkecimpung di dunia matematika atau pendidikan saja, namun juga oleh individu yang berkecimpung di bidang lain seperti psikologi, bahkan neuroscience. Hal ini sungguh menarik betapa matematika sekolah ini kerap mendapat perhatian khusus dan serius. Teori-teori yang bermunculan seputar matematika sekolah pun sudah banyak beredar dan sangat umum di temukan, baik dalam bentuk jurnal maupun tulisan-tulisan berupa postingan di website atau blog pribadi. Namun hal ini tak mengherankan, mengingat matematika memang merupakan suatu mata pelajaran yang unik dimana abstraksinya menyamarkan realismenya.
Perhatian serius pada matematika sekolah, terutama dari sudut pandang psikologi, telah dimulai sejak tahun 70an di Amerika Serikat meskipun awalnya sebenarnya dipicu oleh sebuah jurnal yang dikeluarkan oleh Marie Fides Gough (seorang guru matematika di Amerika Serikat) di tahun 1954 yang memperkenalkan mathemaphobia. Istilah mathemaphobia tidak begitu populer di kala itu sebab Gough, meskipun memberi gambaran bagaimana keadaan individu yang terjangkit sejenis penyakit mental ini, tidak secara gamblang mendefinisikan istilah tersebut apalagi mengenai pengukuran psikometrinya. Barulah di tahun 1971, ketika Richardson, Suinn serta koleganya, yang ahli psikologi, memperkenalkan istilah kecemasan matematika atau mathematics anxiety, phobia terhadap matematika menjadi populer dan memicu banyaknya karya tulis tentang ketakutan terhadap matematika secara umum dan phobia matematika secara khusus.
Ada hal menarik dari karya-karya tulis tentang kecemasan matematika yang diterbitkan hingga kini, kebanyakan mengkambinghitamkan guru matematika sebagai sumber utama kecemasan matematika. Uniknya tulisan-tulisan tersebut umumnya ditulis oleh individu yang berkecimpung di dunia psikologi atau mahasiswa/peneliti pendidikan secara umum dan bukan praktisi di lapangan. Skripsi yang saya tulis sendiri di tahun 2015-2017 yang menyentuh kecemasan matematika juga seperti mengkambinghitamkan guru dengan segala tingkah laku mereka di kelas, metode mengajar mereka serta pendekatan yang digunakan. Saya tidak mengatakan bahwa pengkambinghitaman ini tidaklah beralasan, namun jika ditelaah lebih jauh seharusnya guru mata pelajaran lain juga dikambinghitamkan untuk ketidaksukaan siswa pada suatu mata pelajaran tertentu. Namun kenyataannya tidaklah seperti itu, sangat umum ditemukan siswa menyalahkan guru matematika karena mereka tak mengerti materi yang diajarkan dibanding mata pelajaran lain dimana siswa cenderung menyalahkan diri sendiri atas ketidakmampuan mereka memahami materi pelajaran. Jika misalnya, pengkambinghitaman ini adalah beralasan dan semestinya seperti itu, sehingga pengkambinghitaman ini bukanlah pengkambinghitaman melainkan fakta,
lalu bagaimana seharusnya seorang guru matematika mengajarkan matematika?
Kritik terhadap guru matematika pada garis besarnya lebih kepada kurangnya kesempatan yang guru matematika berikan kepada siswa untuk aktif di dalam kelas seperti bertanya, diskusi, mengemukakan pendapat, dll. Namun yang sering terjadi ialah guru matematika sebenarnya memberikan kesempatan-kesempatan tersebut hanya saja antusiasme dari siswa tidaklah seperti di pelajaran lain. Umumnya, di dalam kelas matematika, ketika guru memberikan kesempatan untuk bertanya, diskusi, atau mengemukakan pendapat kepada siswa, siswa kebanyakan hanya merespon dengan diam dan bingung sendiri. Hal ini mungkin saja disebabkan mereka memang tidak mengerti apa yang baru saja dijelaskan oleh guru matematika mereka. Mungkin karena metode yang guru tersebut gunakan (penjelasan guru tidak menarik), mungkin karena konsep matematika yang diajarkan itu sendiri, atau mungkin karena pertemuan keduanya.
Sebagai solusi dari masalah ini, beberapa ahli psikologi dan pendidikan memperkenalkan istilah student centered learning system dimana siswa lebih dituntut aktif di dalam kelas sementara guru hanyalah sebagai pendamping yang mengorganisir dan membimbing siswa.
Proses belajar mengajar yang seperti itu memang saya akui sangat menarik. Dari pengalaman pribadi saya belajar matematika, sekitar 90% yang saya ketahui berasal dari usaha saya sendiri untuk memahami materi pelajaran matematika. Tuntutan keaktifan siswa sama dengan tuntutan kepada siswa untuk berusaha mencari tahu sendiri dan memahami sendiri materi pelajaran matematika dengan cara mereka masing-masing. Hanya saja dalam praktiknya, ada begitu banyak hal yang bisa menjadi kendala untuk metode pembelajaran seperti ini seperti kurangnya media, lambatnya transisi materi pelajaran dan juga sangat bergantung pada antusiasme siswa.
Menurut pandangan pribadi saya, metode full student centered learning hanyalah sebuah reaksi yang muncul atas suatu aksi. Dengan kata lain, sebuah idealisme yang lahir dari ketidakpuasan akan realita yang ada. Dalam praktiknya, metode student centered learning semata malah memperlambat jalannya transisi materi pelajaran. Sudah barang tentu hal ini menjadi luput dari perhatian para idealis yang berkecimpung di dunia penelitian pendidikan dan psikologi sebab mereka seperti mengesampingkan hal-hal teknis tersebut terlihat dari jarangnya hal teknis tersebut didiskusikan.
Ini tidak serta membuat saya kontra idealis. Saya malah sependapat dengan kaum idealis tentang bagaimana seharusnya matematika itu dipelajari dan dipahami. Akan tetapi, sebagai praktisi di lapangan, saya juga melihat kalau idealisme ini terkadang sangat sulit diwujudkan dan bergantung pada banyak faktor lain.
Menurut saya, ini bukanlah antara menjadi idealis atau realis, bukanlah memilih satu dari teacher centered learning atau student centered learning. Melainkan bagaimana menyeimbangkan keduanya sehingga siswa dapat memahami matematika dengan cara yang baik dan proses belajar mengajar tetaplah efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan termasuk semua cakupan materi yang di silabuskan.
Tapi ini hanyalah cara pandang saya sebagai seorang guru matematika baru yang belum berpengalaman di lapangan dan masih terpengaruh dengan cara pandang idealisme.
Coretan 12 Oktober 2018
Komentar
Posting Komentar